`
English French German Spain Italian Dutch
Russian Portuguese Japanese Korean Arabic Chinese Simplified

Tugas Berat Gubernur BI Baru

SETELAH melalui proses cukup panjang dan melelahkan, akhirnya Boediono dilantik sebagai Gubernur Bank Indonesia (BI) oleh Mahkamah Agung.

Berbagai persoalan langsung menunggu untuk ditangani mantan Menteri Koordinator Perekonomian ini, dari inflasi yang terus naik hingga kinerja BI yang memburuk akibat ketidakefisienan yang menyebabkan neraca BI per 31 Desember 2007 minus Rp1,42 triliun, terbalik dibandingkan tahun sebelumnya yang surplus Rp31 triliun. Melihat kapasitas dan sepak terjangnya selama ini, Boediono dipastikan akan langsung bekerja.

Selain pengendalian inflasi dan membenahi kondisi internal BI, terutama menyangkut governance dan efisiensi, dia pasti fokus untuk merampungkan kerangka organisasi dan mekanisme kerja Protokol Penanggulangan Krisis (PPK), atau lazim dikenal dengan Crisis Management Protocol (CMP) sektor keuangan. Indeks stabilitas keuangan yang per Juni 2008 diperkirakan mencapai level 1,34 tentu mendapat perhatian khusus.

Sebab, jika indeks ini mencapai level 2, itu pertanda gejolak sedang mendatangi sistem keuangan nasional. Sebagai pemangku kewenangan tertinggi otoritas moneter, Boediono dituntut menurunkan indeks itu hingga ke level terendah. Tidak mudah memang, tetapi kita berharap dia bisa mengamankan sistem keuangan nasional agar perekonomian kita selamat dari amukan badai krisis.

Sebaliknya, kita pun berharap agar pemerintah dan DPR tidak masa bodoh pada kebutuhan kita akan PPK Sektor Keuangan. Sebab, hingga kini tak satu pun lembaga tinggi negara yang berwenang menetapkan negara dalam keadaan bahaya akibat krisis ekonomi. Itulah urgensinya mempertimbangkan kelahiran sebuah peraturan pemerintah pengganti undang-undang (perppu) sebagai payung hukum PPK sektor keuangan.

Pasal 12 UUD 45 memang menetapkan presiden berwenang menyatakan keadaan bahaya. Syarat-syarat dan akibat keadaan bahaya ditetapkan dengan UU Keadaan Bahaya. Peraturan pelaksanaannya hingga kini masih mengacu pada UU No 23 Prp tahun 1959 tentang Keadaan Bahaya. Namun, menurut materi UU itu, keadaan bahaya hanya menyangkut masalah keamanan dan ketertiban umum, bahaya perang, keutuhan wilayah atau gejala yang membahayakan kehidupan negara.

UU Keadaan Bahaya 1959 itu jelas belum mencakup atau mengantisipasi potensi ancaman era globalisasi saat ini. Resesi atau krisis ekonomi dengan segala konsekuensinya yang begitu destruktif, belum dicakup UU itu. Padahal, masih segar dalam ingatan kita bagaimana krisis nilai tukar 1997-yang bermuara dari gejolak di pasar uang internasional- tereskalasi menjadi krisis moneter dan krisis politik 1998 di Indonesia.

Ketika dua krisis itu mencapai puncaknya, kita terperangkap dalam krisis multidimensi yang berkepanjangan. Akhir-akhir ini, jika ketidakpastian global tiba-tiba menghadirkan badai krisis ekonomi di dalam negeri, tidak mudah bagi presiden untuk menetapkan negara dalam keadaan bahaya. Lawan-lawan politik presiden di DPR belum tentu punya persepsi sama tentang keadaan bahaya akibat resesi ekonomi.

Penolakan juga bisa datang dari sejumlah elemen di masyarakat yang kepentingannya terganggu. Padahal, dalam situasi krisis ekonomi, presiden butuh wewenang atau kekuasaan ekstra untuk meloloskan dan membawa bangsa ini selamat dari bahaya. Sembari menunggu upaya Boediono menggolkan PPK sektor keuangan, kita sampaikan juga harapan dari berbagai kalangan kepada Gubernur BI yang baru.

Ada beberapa aspek yang patut mendapat perhatian ekstra dari Boediono. Yang paling utama adalah sinkronisasi kebijakan fiskal-moneter. Sinkronisasi kebijakan fiskal-moneter harus diawali dengan mendamaikan "Lapangan Banteng" (Departemen Keuangan) dan Jalan Thamrin (BI). Rivalitas dua lembaga ini sama sekali tidak produktif. Bagaimanapun, ini berpotensi mengganggu proses pencapaian target fiskal maupun moneter.

Tak cukup dengan harmonisasi di tingkat Menkeu-Gubernur BI. Harmonisasi harus mencapai para pejabat teknis, termasuk para staf ahli. Dengan menghilangkan arogansi kelembagaan, BI dan Depkeu harus memikul tanggung jawab sama besar dalam menjaga stabilitas sistem keuangan nasional. Lebih dari itu, Gubernur BI dan Menkeu bersama staf ahli dan pejabat teknis masing-masing harus bisa menjadikan sistem keuangan nasional efektif dan produktif mendukung jalannya pembangunan.

Tidak ideal jika terlalu sering pembangunan dan kepentingan rakyat dikorbankan semata-mata demi terjaganya stabilitas sistem keuangan. Baru-baru ini, pemerintah mengumumkan percepatan penurunan bea masuk (BM) atas 14 jenis barang modal dan bahan baku.Tujuannya, meringankan biaya produksi agar produk akhirnya kompetitif.

Sayang, sepekan sebelumnya, BI sudah terlanjur menaikkan BI Rate 0,25 basis poin, yang menyebabkan harga kredit modal kerja menjadi lebih mahal. Lagi-lagi terjadi ketidaksinkronan kebijakan. Sebagai Menko Perekonomian, Boediono tahu betul rumitnya pekerjaan yang pernah diembannya itu. Beragam program dan target lintas sektoral harus dijalankan dan dicapai.

Kebijakan untuk sektor A tak boleh mengorbankan kepentingan atau program sektor B. Untuk memaksimalkan kinerja sektor riil, tentu dibutuhkan kebijakan moneter dan perkreditan yang responsif terhadap proses dan target di masing-masing sektor riil. Pada intinya, perlu dicapai penyeragaman visi antara Gubernur BI, Menko Perekonomian, serta Menkeu.

www.okezone.com
Jum'at, 23 Mei 2008

0 komentar:

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Enterprise Project Management