Boediono di tengah badai17 Mei 2008 merupakan batas akhir masa tugas Gubernur Bank Indonesia (BI) Burhanuddin Abdullah yang kini tengah menjalani masa tahanan karena diduga terlibat dalam kasus aliran dana Yayasan Pengembangan Perbankan Indonesia (YPPI) ke DPR sebesar Rp100 miliar.
Tanggal tersebut, sekaligus masa awal bagi Boediono yang telah terpilih jadi Gubernur BI melalui proses fit and proper test oleh DPR pada 7 April lalu. Kehadiran Boediono dikursi panas BI-1 berbarengan dengan kondisi moneter global yang labil, akankah sikapnya yang tenang dapat mengantarkan kondisi moneter Indonesia yang stabil?
Tak bisa dipungkiri, kenaikan harga minyak dunia yang setiap hari menyentuh level tertinggi, di mana pekan lalu bertengger di kisaran US$127 per barel, membuat para pemimpin bank sentral dunia pusing tujuh keliling. Mengingat tugas bank sentral dalam menjadi inflasi menjadi lebih berat. Dengan mengelola kebijakan moneter, sistem keuangan dan sistem pembayaran, bank sentral diharapkan mampu menyuguhkan iklim yang stabil. Tapi hal itu ternegasikan oleh realitas global yang memburuk.
Memburuknyanya pasar properti dan tagihan kartu kredit yang membubung di AS, kenaikan harga minyak dunia, membuat posisi APBN semua negara terhuyung-huyung. Tanpa kecuali APBN Indonesia. Ketidakstabilan ini harus segera diminimalisir, kalau tak mungkin dihentikan, dengan berbagai kebijakan yang pamungkas.
Dalam teori moneter, dalam kondisi instabilitas meningkat, biasanya diikuti dengan kenaikan bunga seperti yang telah ditempuh bank-bank sentral dunia. Hanya saja terjadi anomali di negeri Paman Sam, di mana The Fed cenderung menurunkan bunganya yang terakhir di posisi 2%. The Fed tentu punya alasan, yakni untuk menggulirkan ekonomi domestik.
Pendek kata, kepemimpinan Boediono di BI dalam kondisi badai moneter yang tak bersahabat, sehingga ini akan menjadi tantangan yang berat bagi siapapun yang berada di posisi BI-1.
Belum lagi kasus dana Bantuan Likuditas Bank Indonesia (BLBI)--yang telah mengapung-apung selama 10 tahun---konon segera akan diambil alih oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Konon pula BI dan KPK telah melakukan kesepakatan tidak tertulis, bahwa kasus BLBI segera dituntaskan tanpa harus menimbulkan ‘kegaduhan’.
Kasus BLBI menjadi berarti lantaran Boediono disebut-sebut ‘terlibat’ dalam kasus penyaluran dana BLBI pada Bank Pelita dan Bank Umum Nasional (BUN). Seorang bankir berseloroh kepada penulis, Boediono tidak ‘terlibat’ tapi ‘terkait’. Suatu euphimisme yang cukup masuk akal untuk orang sekelas Boediono.
Disisi moneter, PR Boediono tidak sedikit. Tercatat total kredit perbankan yang tidak terserap sektor riil (undishbursed loan) hingga akhir 2007 mencapai Rp172 triliun, dengan dana pihak ketiga yang tersedot di SBI mencapai Rp278 triliun. Praktis, dana menganggur yang beban bunganya cukup tinggi mencapai Rp450 triliun. Atau 26,78% dari total dana pihak ketiga yang dihimpun perbankan nasional sebesar Rp1.680 triliun.
Atas dasar krisis global yang belum ketahuan bottom line-nya atau sampai di mana dasar krisis akan terjadi, ada baiknya Bank Indonesia berinisiatif dengan mengacu apa yang ditempuh Federal Reserve. Tak ada salahnya BI menurunkan BI Rate guna merangsang turunnya suku bunga kredit, langkah ini ditempuh guna menyemarakkan ekonomi domestik.
Kalau khawatir kredit itu macet, serahkan saja pengelolaannya kepada sentra-sentra usaha menengah, kecil, dan mikro yang nyata-nyata selama krisis menjadi bantalan ekonomi Indonesia hingga eksis sampai saat ini. Kalau khawatir kredit itu macet, perbankan nasional disuruh saja belajar pada PT Bank Rakyat Indonesia Tbk yang lebih dari 100 tahun bersahabat dengan orang-orang kecil di segmen UMKM tersebut.
Pemerintah memang telah menggulirkan Kredit Usaha Rakyat (KUR), tapi besarannya baru Rp850 miliar dari Rp1 triliun yang ditargetkan. Artinya, kreativitas penyaluran kredit yang diarahkan kepada UMKM harus terus digalakkan, bila perlu diberi award bagi siapa saja yang telah dan sedang berhasil menggerakkan sektor UMKM ini.
Misalnya di Bali ada Lembaga Pembiayaan Desa (LPD), yang mengkafer kebutuhan warga di lingkup desa yang kini jumlahnya mencapai 1.327 LPD. Atau menerapkan pola Grameen Bank ala Profesor Muhammad Yunus di Bangladesh. Grameen Bank adalah sebuah organisasi kredit mikro yang dimulai di Bangladesh yang memberikan pinjaman kecil kepada orang yang kurang mampu tanpa membutuhkan collateral. Sistem ini berdasarkan ide bahwa orang miskin memiliki kemampuan yang kurang digunakan. Sistem ini pada zaman Soeharto sudah diterapkan dengan nama Kredit Candak Kulak (KCK), namun bank tidak sungguh-sungguh.
Tentu dengan pola dan penerapan yang disesuaikan dengan kondisi kekinian, kondisi di mana Boediono ada pada pusaran badai moneter. Mampukah Boediono menjinakkan badai moneter ini? Kita doakan saja!Bisnis Indonesia
Senin, 19/05/2008


12:11 PM
Posted in: 

0 komentar:
Posting Komentar