WAJAR jika harga minyak yang masih bertengger di atas level US$ 90 membuat para pengusaha pusing tujuh keliling. Apalagi, Pertamina sudah mengumumkan rencana untuk menaikkan lagi harga jual BBM nonsubsidi, awal Desember ini. Kalau sudah begitu, tak ayal, biaya produksi akan naik, sementara menaikkan harga jual tentu tak semudah membalik telapak tangan. Maklum, daya beli masyarakat memang masih sangat rendah.
Mau tak mau, para pebisnis itu terpaksa melakukan strategi efisiensi. Umumnya, yang pertama kali dipangkas adalah biaya iklan dan promosi. Selain itu, menurut Sofjan Wanandi, Ketua Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo), efisiensi juga bisa dilakukan dengan mengurangi jam operasi.
Maka, overtime pun mulai dibatasi. ”Kalau perlu, kurangi kapasitas produksi,” ujar Sofjan. Tak lupa, ia juga mengingatkan, kalau langkah terakhir itu yang ditempuh, maka dampaknya adalah pengurangan tenaga kerja. Pengangguran bisa bertambah lagi.
Masalahnya memang tak banyak alternatif yang bisa diambil para pengusaha. Eddy Widjanarko, Ketua Umum Asosiasi Persepatuan Indonesia (Aprisindo), menuturkan, efisiensi karena naiknya harga BBM memang sulit dilakukan. Di industri sepatu, ia bilang, untuk membuat eva (plastik busa sepatu sport) dan sol sepatu, dibutuhkan energi sangat besar. Perlu banyak solar untuk mesin boiler. ”Jika solar itu diganti dengan batu bara, maka biaya yang dikeluarkan sama besarnya dengan membuat pabrik baru,” kata Eddy.
M.S. Hidayat, Ketua Umum Kamar Dagang dan Industri Indonesia (Kadin), juga berkomentar sebelas dua belas. Ia katakan, tak mudah bagi pengusaha untuk langsung mengganti peralatannya dari BBM ke sumber energi lainnya. Setidaknya, itu membutuhkan waktu satu tahun untuk menunggu kesiapan energi alternatif yang lebih murah ketimbang BBM. Padahal, waktu satu tahun itu sangat penting. Kalau itu tersia-siakan, maka pertumbuhan ekonomi Indonesia pasti akan mengalami perlambatan. Serba salah, memang.
Sofjan memperkirakan industri manufaktur, tekstil, makanan, petrokimia, dan transportasi adalah industri yang paling terpukul dengan naiknya harga BBM. Bagi mereka, biaya BBM menyumbang tak kurang dari 40% dari total biaya produksi. ”Padahal, sektor ini merupakan sektor yang padat modal,” ujar Sofjan.
Ada, memang, industri yang malah diuntungkan oleh naiknya harga minyak. Sebut saja, misalnya, sektor sumber daya alam seperti batu bara, mineral, dan sawit. Namun, sektor ini justru yang menyerap tenaga kerja paling sedikit ketimbang sektor manufaktur.
Bos kelompok usaha Gemala ini juga mengingatkan, pemerintah harus cepat mengantisipasi melambatnya pertumbuhan sektor manufaktur dan tekstil gara-gara mahalnya harga minyak ini. Jika pemerintah terus bungkam, maka bisa dipastikan jumlah penganggur akan bertambah.
Sofjan menyarankan agar pemerintah segera mencairkan anggaran pembangunan lebih awal. ”Biasanya pemerintah mencairkan anggaran ini pada pertengahan tahun,” katanya. Saat ini, pencairan itu harus lebih cepat. Bila perlu di awal tahun. Dengan begitu, kemampuan daerah untuk membangun bisa lebih meningkat dan itu akan menyerap tenaga kerja.
Langkah lain yang dapat ditempuh pemerintah adalah menyelenggarakan pelaksanaan proyek infrastruktur yang telah dilakukan tendernya. Berjalannya proyek-proyek infrastruktur itu tentu dapat menyerap tenaga kerja lebih banyak lagi. Ujung-ujungnya, itu juga akan meningkatkan pertumbuhan ekonomi.
Selesai? Belum. Seperti biasa, Sofjan juga meminta agar high cost economy segera dipangkas. Sungguh, ia bilang, ekonomi biaya tinggi ini menyumbang sekitar 10% dari total ongkos produksi. Jumlah yang hampir menyamai ongkos tenaga kerja di sebuah perusahaan padat modal.
0 komentar:
Posting Komentar