`
English French German Spain Italian Dutch
Russian Portuguese Japanese Korean Arabic Chinese Simplified


Tekanan terhadap sektor keuangan di dunia belum bisa dikatakan reda karena semua pelaku pasar dan pengambil kebijakan masih menunggu perkembangan ekonomi di Amerika Serikat. Lalu, masih terbayang krisis moneter Indonesia 1998. Itu merupakan gambaran buruknya dampak krisis sektor keuangan terhadap ekonomi makro.

Masalahnya, hingga saat ini, pemerintah belum juga tuntas menyusun protokol penanggulangan krisis di sektor keuangan. Padahal, jika perekonomian AS tidak juga pulih, bukan tidak mungkin sektor keuangan dunia akan terseret ke dalam krisis, termasuk Indonesia.

Atas dasar inilah, Gubernur Bank Indonesia (BI) terpilih, Boediono, berjanji mempercepat proses penyusunan protokol penanggulangan krisis sektor keuangan itu. Rencananya, Boediono akan dilantik sebagai Gubernur BI pada 22 Mei 2008, menggantikan pejabat lama, Burhanuddin Abdullah.

Boediono berencana akan membuat protokol itu secara detail. Ini akan mengatur siapa melakukan apa. Itu semua dipersiapkan agar krisis moneter tahun 1998 tidak terulang lagi.

Saat itu, Indonesia sama sekali tidak siap menghadapi gejolak sektor keuangan, yang menyeret perbankan nasional ke dalam tekanan penarikan dana dalam jumlah besar, dan meninggalkan beban utang obligasi rekap ratusan triliun rupiah hingga saat ini.

”Sekarang protokolnya disiapkan detail agar ada landasan hukumnya. Harus ada undang-undang yang mengatur agar orang tidak ragu dalam memutuskan sesuatu,” tutur Boediono.

Dalam penanggulangan krisis di sektor keuangan, ada beberapa pengambil keputusan yangpatut diatur langkah-langkah kebijakannya. Pertama, menteri keuangan. Kedua, Gubernur BI. Ketiga, kepala Badan Pengawas Pasar Modal. Keempat, Lembaga Penjamin Simpanan. Kelima, para pengatur kebijakan di lembaga keuangan lain, seperti dana pensiun dan asuransi.

Seandainya terjadi tekanan terhadap sektor keuangan saat ini, kelima unsur pengambil keputusan itu akan kelabakan. Mereka tidak memiliki dasar hukum yang kuat untuk bertindak dan tidak memegang petunjuk teknik untuk melangkah.

Segala langkah

Maka, bagi Boediono, langkah apa pun harus dilakukan agar protokol ini bisa diwujudkan. Namun, saat ini, minimal dibutuhkan sebuah undang-undang (UU) untuk mendukung protokol tersebut. Akan tetapi, jika UU dianggap terlalu lama, pemerintah wajib mengeluarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perpu) yang lebih cepat proses penerbitannya.

Kecepatan pengambilan keputusan adalah langkah kunci. Ketua Forum Stabilitas Sektor Keuangan Raden Pardede menyebutkan, setiap pengambil keputusan harus diberi batas waktu. Batas waktu itu maksimal diberikan tiga hingga empat jam sejak krisisnya terjadi.

Bagi Boediono, ancaman krisis di sektor keuangan bisa sangat sulit dideteksi. Kedatangankrisis itu bisa datang dalam bentuk riil, misalnya memengaruhi angka-angka ekonomi seperti indeks harga saham. Krisis juga bisa mengancam dalam bentuk tekanan abstrak, misalnya persepsi negatif pelaku pasar terhadap perekonomian Indonesia.

Cadangan devisa

Saat krisis moneter 1998 terjadi salah satu indikator daya tahan sektor keuangan suatu negara yang mendapatkan perhatian adalah cadangan devisa. Saat itu, cadangan devisa di BI terus tergerus akibat tekanan penurunan drastis nilai tukar rupiah terhadap dollar AS.

Cadangan devisa yang mencapai sekitar 18 miliar dollar AS terus menipis karena BI dimintamempertahankan kurs tetap stabil. Akibatnya, Indonesia harus berurusan dengan Dana Moneter Internasional (IMF).

Indonesia harus meminjam likuiditas kepada IMF untuk memperkuat cadangan devisa tidak kurang dari 23 miliar dollar AS. Keterikatan dengan IMF sangat menyakitkan karena syarat yang diterapkan begitu berat.

Kini, Indonesia menjadi satu dari 13 negara yang menandatangani perjanjian cadangan devisa bersama dalam forum ASEAN Plus Tiga Negara, yakni seluruh anggota ASEAN ditambah Korea Selatan, Jepang, dan China. Dengan perjanjian ini, semua anggota akan mendapatkan tambahan cadangan devisa sekitar 80 miliar dollar AS.

Cadangan devisa hanya dapat digunakan jika ada negara anggota yang mengalami masalah pada neraca pembayarannya. Ini bisa digunakan sebagai basis pertahanan lapis kedua di sektor keuangan. Pertahanan lapis pertamanya adalah cadangan devisa di masing-masing bank sentral.

Namun, bagi Boediono, cadangan devisa bersama itu tidak mudah digunakan. Sebab, berdasarkan pengalaman, bukan hal yang mudah menarik dana dari himpunan cadangan devisa itu secara cepat pada saat krisis.

Indonesia pernah mengikat perjanjian dengan beberapa negara untuk membuat cadangan devisa bersama pada tahun 1998, antara lain dengan Thailand. Pada saat Indonesia meminta bantuan tambahan cadangan devisa, pihak Thailand tidak memberikan bantuan secara cepat.

Atas dasar itulah, perjanjian ASEAN Plus Tiga Negara harus dijabarkan dalam bentuk teknis-teknis pencairan yang jelas. Ini bisa dilakukan dengan menguji coba pencairan dananya meskipun tidak sedang terjadi krisis. ”Itu harus diuji. Karena bisa saja macet dalam pelaksanaannya. Indonesia bisa meminta transfer dana, tidak perlu besar dulu, cukup dalam hitungan juta dollar saja,” saran Boediono.

Dengan pengalaman itu, Indonesia diharapkan tidak menggantungkan diri terhadap cadangan devisa bersama seperti ASEAN Plus Tiga Negara tersebut. Langkah yang harus dilakukan adalah tetap dengan memperkuat cadangan devisa sendiri sehingga kepercayaan terhadap perekonomian Indonesia bisa lebih fundamental.

”Indonesia sudah memiliki cadangan 59 miliar dollar AS। Lebih baik kita fokus pada kemampuan sendiri,”
kompas
Sabtu, 17 Mei 2008

0 komentar:

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Enterprise Project Management